BATUBARAPOS.com, BATU BARA – Tubuh renta itu tergeletak di rel. Diam. Tak lagi bergerak. Namanya M. Butar Butar, 64 tahun, seorang pedagang sederhana dari Desa Pematang Cengring Pekan. Pagi itu, Sabtu, 10 Mei 2025, sekitar pukul 10.30 WIB, ia hendak menyeberang seperti biasa di lintasan kereta Kuala Tanjung – Bandar Tinggi, di kawasan Simpang Durian, Desa Pakam. Tapi takdir berkata lain. Kereta melaju tanpa ampun, dan tak ada palang pintu yang bisa memperingatkannya.
Jeritan warga memecah udara. Tapi semua sudah terlambat.
Perlintasan itu tak pernah punya palang. Tak pernah punya penjaga. Hanya lintasan dan harapan kosong—harapan bahwa mereka yang melintas akan cukup beruntung untuk tidak disambar maut. Hari ini, harapan itu patah. Nyawa kembali terenggut.
Warga menangis. Tapi mereka juga marah. Karena tragedi ini bukan kali pertama. “Sudah berkali – kali kami sampaikan permintaan agar setiap perlintasan dilengkapi palang pintu. Tapi seolah tidak ada niat untuk menindaklanjuti. Apakah harus terus menunggu korban berikutnya?” kata Nurdin, tokoh masyarakat Simpang Durian, dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar. Sabtu siang, saat tanah masih merah dan tubuh korban belum lama diangkat, Nurdin berdiri di sisi rel, menggenggam amarah dan duka yang sama-sama dalam. Dilansir Ucupnews.com
Ia tak mengada-ada. Permintaan warga untuk palang pintu sudah disuarakan ke DPRD, ke PT Kereta Api Indonesia. Tapi jawaban selalu menggantung di awan birokrasi. Di bawahnya, warga tetap menyeberang rel setiap hari dengan doa dan rasa takut.
Tak hanya palang pintu, mereka juga mengeluhkan tak adanya pagar pembatas. Jalur kereta melintasi permukiman padat. Anak-anak bermain tak jauh dari rel. Orang tua mengantar cucu sekolah melintasi jalan itu. Dan semuanya hidup berdampingan dengan ancaman yang terus mengintai.
Kini, ancaman itu telah memakan korban lagi. M. Butar Butar bukan sekadar angka. Ia ayah, ia suami, ia tetangga yang dikenal ramah di pasar. Tapi namanya kini hanya tinggal kenangan—dan pertanyaan yang menggema di telinga semua warga: haruskah ada yang mati dulu untuk didengar?
Pemerintah daerah dan PT KAI kini dihadapkan pada tuntutan moral yang tak bisa lagi ditunda. Bukan soal anggaran. Ini soal nyawa. Soal rasa aman rakyat yang selama ini diabaikan.
Masyarakat Simpang Durian tidak meminta istana. Mereka hanya minta palang. Dan kesempatan hidup yang lebih panjang. (Red)

