BATUBARAPOS.com, BATU BARA | Di banyak meja makan orang Indonesia, ikan asin sering dianggap sederhana, bahkan kadang dipandang sebelah mata. Tapi di Kuala Tanjung, ikan asin adalah cerita panjang tentang hidup, kerja keras, dan jati diri sebuah kampung nelayan.

Bayangkan: pagi buta para nelayan berangkat, menantang ombak yang tak bisa ditebak. Begitu pulang, ikan-ikan segar itu segera berpindah tangan ke para ibu. Dengan telaten mereka membersihkan, menaburkan garam, lalu menjemurnya di bawah terik matahari. Proses yang terlihat biasa, tapi di baliknya ada cinta, ada kesabaran, ada warisan yang terus diwariskan lintas generasi.
Ikan asin bukan sekadar lauk—ia adalah bukti bahwa dari sesuatu yang sederhana, lahir nilai tambah yang nyata. Ia menghidupi keluarga, menggerakkan ekonomi kampung, bahkan sampai ke pasar-pasar di luar daerah. Kuala Tanjung pun dikenal bukan hanya karena lautnya, tapi juga karena aroma ikan asin yang jadi identitas.
Ironisnya, di tengah gempuran industri besar dan modernisasi serba cepat, kisah ini sering luput. Padahal, apa artinya kemajuan jika tradisi kecil yang menjaga denyut ekonomi rakyat justru hilang? Ikan asin mengajarkan kita tentang ketekunan: bahwa yang bertahan bukan yang paling kuat, tapi yang paling sabar merawat tradisi.
Kita mungkin bisa membeli ikan asin di mana saja, tapi ikan asin Kuala Tanjung menyimpan sesuatu yang lebih mahal dari sekadar rasa: ia menyimpan cerita. Cerita tentang laut, tentang jemuran, tentang tangan-tangan yang tak pernah menyerah. Dan selama cerita itu masih ada, Kuala Tanjung akan selalu punya identitas yang tak bisa diganti oleh mesin-mesin industri.
Penulis : Suriono Selamat